Kumpulan Pernah

Cerita Sekenanya #2

Posted in pernah jalan-jalan by Lisistrata on July 14, 2010

Parade gay dan sepeda kota

Dari pesta piala dunia hingga kolsch, pink elephant dan fruit romance di kedai cocktail favorit teman saya di Cologne. Paginya sedikit hangover, namun keliling kota tetap berjalan sesuai rencana. Kebetulan, dan memang sudah saya rencanakan untuk menginap di Cologne pada saat Christopher day, semacam gay parade. Harinya para gay, lesbian, transeksual. Mereka berpawai untuk mengkampanyekan keberadaan mereka dan mengingatkan bahwa ini hanyalah persoalan orientasi seksual, atau preferensi, bukan penyimpangan. Karena tidak semua warga Jerman mau menerima keberadaan mereka. Seperti layaknya karnaval dan kampanye, mereka membagi-bagikan kondom untuk menghindari penyakit menular seksual, permen, dan asesoris yang menyuarakan kaumnya.

Partai politik pun tak lupa turut serta, yang religius sayap kanan pun ikut mendukung mereka supaya diterima masyarakat pada umumnya. Tidak heran, parpol gitu loh. Kepentingan massa juga yang bermain (sok tau banget lisis ini.)

Parade gay selesai, kami melanjutkan keliling kota dengan sepeda, menyusuri sungai, berhenti untuk ice cream, dan jus apel. Lanjut lagi untuk berjemur, dan ice cream lagi :9.

Kemudian menyeberangi salah satu jembatan di kota yang dipenuhi dengan gembok di pinggirannya. Konon, jika pasangan memasang gembok di jembatan tersebut, kemudian membuang kuncinya di sungai, akan abadi lah cinta mereka.. haha.. mitos dimana-mana, bahkan di Eropa, renaissance kan masa lalu?? J

Dan tak lupa kami mengunjungi katedral Cologne super besar yang terkenal itu. sedang ada misa, tidak bisa keluar masuk seenaknya. Tapi memang super besar katedralnya. Kebesarannya cukup membuat terkesima. Jadi berasa seperti turis gumunan L.

Hari kedua di Cologne, hari terakhir kami bertemu satu sama lain. kami akhiri hari dengan makan masakan Spanyol, tapas. Setelah pas hari pertama kami makan masakan Jerman, yang rasanya tak jauh beda dengan masakan di negri lainnya. Babi pula. Beribu kalori masuk ke tubuh saya.

Tak puas dengan anggur Spanyol di restauran tapas, kami pun lanjut ke coktail bar di area pelajar, dan tak lupa segelas bir lokal, yang disebut ‘kolsch’, yang kami sebut “fluid bread”, karena bahannya sama dengan roti, jumlah kalorinya pun tak jauh beda.

Lalu berpisahlah saya dengan kedua teman saya keesokan harinya, untuk lanjut ke Berlin. Dimulailah petualangan saya yang sebenarnya. Karena selama dua hari di Cologne, saya merasa dimanja. Sampai-sampai saya tidak paham sistem transportasinya. Bayangkan saja, sudah berada di Jerman selama tiga hari, baru saya berkenalan, dan mulai meraba sendiri, setelah di Berlin, setelah tidak dimanja oleh kedua teman saya.

Cerita Sekenanya #10

Posted in pernah jalan-jalan by Lisistrata on July 14, 2010

Heading to the Unpronouncable city in Poland, Wroclaw.

Wroclaw, masih di Polandia. saya membacanya “Rock-law”. Tapi ternyata salah besar. Dan jika saya ditanyai oleh teman saya,”Mau ke kota mana lagi setelah ini?”, saya jawab saja,”to the unpronuncable city in Poland, around five hours from Krakow”.

Dan setelah saya baca buku pedoman perjalanan lokal, dengan tips-tips lokal (untuk menghindari Wisata, dengan “W” besar), ternyata Wroclaw, dibaca frot-swaf. Jauh sekali bedanya!!! Dan setelah itu jika ada yang menanyakan, saya menjawab dengan pede, “Frot-swaf”, dan giliran mereka yang tidak tahu. Karena selain unpronouncable, juga tidak turistis. Saya pun menyinggahi juga karena saya mendapat tiket penerbangan dengan harga terjangkau menuju Paris. Meski tidak mendarat di Paris, tapi pinggiran dekat Paris, untuk menuju rumah Arnaud (seorang Prancis yang sudah menjadi teman dekat dari teman2 saya di Jogja, yang bahkan belum pernah saya temui, tapi mau memberi tumpangan di Paris.hehe,..).

Sesampai di Wroclaw, seperti biasa, mencari tempat penginapan, yang kali ini letaknya sekitar 20 menit berjalan kaki dari pusat kota. 10 menit dengan tram. Hostel berada di kompleks mahasiswa. Sebenarnya memang asrama mahasiswa yang disulap menjadi hostel di musim panas. Sehingga saya bisa dapat dengan harga murah, cukup ruang dan sempurna  tenangnya. Sangat kondusif untuk beristirahat setelah perjalanan di beberapa kota. Dan suhunya juga sempurna, tidak perlu pake selimut ketika tidur, tidak perlu juga buka baju. Bangun siang pun tidak kepanasan.

Tapi memang cukup sulit untuk menemukan tempat ini, karena hostel dadakan, tidak ada yang tahu. Jadi memang tidak lucu lagi kadang kalau kesasar, dengan backpack seberat kurang lebih 15 kilo berjalan kesana kemari, dan jarang sekali orang berbicara bahasa Inggris lancar, meski mau membantu. Hampir setangha jam saya berjalan mencari hostel. Karena lelah, saya memutuskan untuk berhenti sebentar. Lalu sekitar sepuluh meter didepan saya, ada dua anak muda yang menyapa saya, “hei, apa kamu juga mencari hostel bla-bla-bla?”.  Spontan saya jawab “ya, hampir prustasi saya”. Mereka menjawab, “kami juga”.

Kami beristirahat sebentar, hingga ada seorang anak muda, mahasiswa yang tinggal di asrama sekitar menawarkan bantuan. “oke, kalian istirahat saja disini, saya akan carikan.”

Hanya beberapa menit, dia kembali lagi dengan berita gembira,”i’ve found it!”

”oh, senangnya”.

Saya dan dua orang muda, yang lelaki dari Prancis, perempuannya dari Bulgaria akhirnya satu kamar. Awalnya mereka menanyakan pada resepsionis apakah masih ada kamar dengan harga murah di hostel tersebut. lalu resepsionis hotel menjawab tidak. Lalu saya mengatakan, saya dapat kamar dengan harga itu, mungkin mereka bisa satu kamar dengan saya, dengan harga yang sama. Dan akhirnya disetujui oleh sang resepsionis.

Mereka bukan turis, datang ke Wroclaw untuk mendatangi tempat dimana sutradara favorit mereka pernah mempertunjukkan drama yang mereka suka. Setelah sebelumnya mereke mengikuti festival teater di kota lain, juga di Polandia.

Di Wroclaw, satu kamar dengan dua anak muda yang tenang, tidak ada turis di sekeliling saya. Tidak ada pemuda Irlandia yang suka pesta. tidak ada bar di lantai paling bawah. Meski bir tak terhindarkan, karena Carrefour letaknya hanya beberapa menit jalan kaki dari tempat penginapan.

Cerita Sekenanya #9

Posted in pernah jalan-jalan by Lisistrata on July 14, 2010

Krakow, you’re hot, i’m melting

Pada hari kesembilan perjalanan saya di belantara eropa, inilah hari terpanas. Di hostel yang saya pilih karena namanya (goodbye lenin) ini, saya tidak bisa bangun siang, karena jam tujuh pagi, matahari sudah membangunkan saya. Meski tidak berlaku pada teman sekamar saya yang berpesta semalaman dan pulang di pagi hari.

Karena hanya satu hari saya menyinggahi kota ini, saya pun menyerah pada buku panduan dan mempersiapkan dengan seksama rute yang saya kehendaki. Museum yahudi Galicia menjadi tujuan utama. Rupanya saya sudah cukup dan ‘baik-baik saja’ dengan pusat kota tua beserta hiruk pikuk turisnya. Meski itu juga jadi tujuan akhir saya, namun yang pertama ialah museum yahudi Galicia.

Tidak salah pilihan saya. Museum sederhana ini sangat kontras dengan hingar-bingar anak muda, terutama yang datang sebagai turis untuk berpesta dan vodkanya. Memang warung vodka di Krakow kali ini sering sekali saya jumpai, tidak seperti di Warsawa, Krakow memang tempat berpesta. Dan hostel tempat saya menginap rupanya memang hostel, garden dan pub yang bisa dijumpai di basement. Bir Polandia pun tidak terhindarkan kalau seperti ini (jika ini dibaca sebagai upaya saya membenarkan untuk minum bir, saya tidak keberatan..hihihi…).

Meninggalkan kompleks Yahudi, saya menuju Kastil Wawel, dan katedral bla-bla-bla.. yang jelas, tempat tinggalnya kaum bangsawan dulunya. Bangunannya tinggi seperti biasa. Dan juga kali ini bagi saya biasa saja. Bangunan-bangunan di Eropa, tinggi-tinggi, besar-besar,. (beginilah cara saya menggambarkan arsitektur yang saya temui, monoton, bukan arsitek gitu loh). Memang saya tidak pintar bercakap dengan gedung dan bangunan tua, kurang data sebenarnya L. Meski baca-baca tetap saja tidak banyak yang terekam. Mungkin memang bukan ketertarikan saya. Apa boleh buat.

Malam harinya saya pulang dengan kaki terpincang.,’fuckin’ tired’. Krakow yang tidak relatif besar ini memang mudah dijangkau dengan hanya berjalan kaki, juga banyaknya taman di tengah kota membuat jalan pun semakin nyaman, tidak terlalu kepanasan. Tapi karena jalannya berjam-jam, supaya puas. Alhasil, kaki kempor, pegel betul.

Sesampainya di kamar hostel, masih panas. Dan sudah ada seorang muda lagi rupanya. Seorang mahasiswa Prancis, yang suka pesta dan piala dunia, ketika saya tanyakan alasannya,”karena kebanyakan suka, maka saya ikut saja”. Tapi cukup ramah dan lumayan untuk dijadikan teman ngobrol, dari pada merasakan sakitnya kaki.

Entah mengapa malam terakhir saya di Krakow membuat saya sedikit sensitif. Bar di lantai paling bawah sudah ramai. Semua menunggu pertandingan sepak bola. Saya pun hanya mengambil segelas bir, ngobrol sedikit dengan beberapa orang di sekitar, lalu kembali ke kamar, membuka laptop, online, dan masih meneruskan segelas bir lainnya, karena teman sekamar saya yang lainnya juga datang membawa segelas, itupun saya habiskan juga. Panas sekali malam terakhir di Krakow!! mungkin saya terbuat dari coklat, dan malam itu saya mencair.

Cerita Sekenanya #8

Posted in pernah jalan-jalan by Lisistrata on July 14, 2010

Di mantan ibukota Polandia

Jika dibandingkan dengan Belanda, Jerman, kemudian Praha, sistem transportasi di Polandia secara umum tidak sebaik di tempat-tempat yang saya sebutkan diatas. Selain kurang bersih, juga tidak tepat waktu. dari yang dijadwalkan, seharusnya perjalanan dari Praha menuju Krakow, cukup ditempuh selama enam jam. Namun karena keterlambatan, saya harus menempuh perjalanan selama delapan jam. Sesampainya di hostel pun saya sudah lelah. Padahal malam minggu, saat teman sekamar saya lainnya sudah siap berpesta, saya lelah dihajar perjalanan jauh. Saya hanya sekedar keluar untuk mencari buah dan makan malam. Ajakan pesta pun saya tolak, dan saya tidur nyenyak.

Kalau dipikir-pikir, Polandia tidak begitu ramah menyapa saya. Karena ini kali kedua saya menginjakkan kaki di negri ini, setelah sebelumnya di Warsawa. Namun, saya masih saja senang mendekati yang buas-buas tidak ramah seperti ini, karena kadang memang seksi. 😀

Cerita Sekenanya #7

Posted in pernah jalan-jalan by Lisistrata on July 14, 2010

Memenuhi Undangan Kafka

Hari ketiga di Praha, dengan agenda yang lain dari hari sebelumnya, supaya melihat semua kota. Dan kebanyakan detail dari hari ini sudah saya tuangkan di tulisan saya yang lain. dari kastil hingga museum Kafka yang sederhana, namun bisa menyajikan kekelaman hidup seorang penulis yang mengidap TBC di masa muda, inferior pada masa kecil, dan penuh dengan benturan serta kontradiksi pada masa tuanya.

Malam harinya, setelah makan malam lagi bersama Rina, namun di restauran vegetarian yang lain namun masih dengan kata pengantar menu yang menarik, yang membiarkan para pertapa dan biksu untuk makan dengan Cuma-Cuma, mereka sebut orang-orang itu dgn sebutan “orang-orang tercerahkan”., kemudian kami meneruskan untuk menikmati makanan penutup di tempat lain, dan kini bukan vegetarian. Dengan blueberry cake dan ice cream.. nyummmm.. tidak ada beer ataupun vodka.

Sesampainya di hostel,meski sudah sangat larut saya sempat berbincang dengan gadis muda yang belakangan saya ketahui namanya Jay, seorang Inggris, yang sudah saya tebak dari aksen bicaranya semenjak kami satu kamar di Berlin. Kini kami satu hostel lagi di Praha. Kadang memang seperti itu, sempit sekali dunia.

Cerita Sekenanya #6

Posted in pernah jalan-jalan by Lisistrata on July 14, 2010

Cerita Kota Cerita

hari kedua di Praha, artinya hari efektif berjalan jika dimaksimalkan. Bangun pagi sudah pasti, apalagi letak hostel yang saya tempati kali ini berada di jalan utama. Jam tujuh pagi sudah berisik kendaraan. Brisik sekali. Karena selama tinggal di leiden, tidak pernah ada berisik kendaraan semacam ini. Bukannya manja, saya tidak terbiasa saja.

Baru beberapa menit membuka mata, kemudian bersiap pergi, lelaki yang sempat ngobrol kesana kemari di kafe italia pada hari pertama saya di Praha pun sudah di hadapan saya. Rupanya ia tidur diatas saya. Dengan tempat tidur bertingkat seprti di hostel kali ini, kemungkinan untuk bertemu dengan bermacam orang memang banyak. Jadi selain murah, seru.

Baru terbangun dari tidurnya, ia sibuk dengan kaca mata, yang sehari sebelumnya tidak ia kenakan. Ah rupanya, kaca matanya jatuh sampai dibawah tempat tidur. Dasar saudara sekacamata, mirip dengan milik saya.

Tanpa pikir panjang, meski masih pukul delapan pagi, saya sarapan, ia pun segera menyusul. Sepertinya obrolan tempo hari berlangsung pagi ini, dengan ditemani Muesli dan segelas kopi. Masih dengan aura patah hatinya, ia lagi-lagi mengeluhkan banyak hal. Sebagian saya jawab dengan senyuman, sebagian lagi saya jawab dengan umpatan bahkan kritikan. Kami bisa saling lempar umpatan, kritikan, kadang ada pujian yang terselipkan. Mungkin karena usia kami tak jauh beda, cara melihat realita pun juga hampir sama.

Kemudian tanpa pikir panjang berangkatlah saya ke kota, dengan berjalan kaki, berteman peta. Sampailah saya pada pusat kota tua, dekat perkampungan yahudi, sekaligus menjadi tempat yang dipenuhi turis, ramai. Saya memilih mengikuti rombongan perjalanan dengan seorang pemandu. Dan disinilah saya bertemu dengan Rina.

Menyusuri kota tua bersama rombongan dengan seorang pemandu wisata yang mampu menarik perhatian semua peserta rombongan, dan menghidupkan bangunan-bangunan di kanan kiri di pusat kota dengan narasinya yang kadang menghibur, juga emosional hingga ia sendiri menitikkan air mata. Tidak hanya peristiwa ‘baik’ saja yang diceritakannya, juga cerita ‘buruk’ yang diikuti perlawanan warga setempatnya, baik dalam melawan kekuasaan gereja dan nazi.

Setelah itu, saya teruskan agenda saya sendiri ke museum komunis. Dilihat dari letaknya, museum ini sudah mengandung ironi. Pintu masuknya hampir tidak terlihat, karena museum ini harus berbagi muka dengan M*donald.

Seperti yang sedikit saya dengar, di beberapa bagian Jerman terutama di barat, komunisme direduksi pada sesuatu yang berdarah-darah dan totalitarianisme. Sejauh yang saya dengar, dari beberapa orang yang saya temui, kapitalisme memang tidak hanya memenangkan kompetisi di wilayah ekonomi, politik  namun juga kesadaran, meski setelah runtuhnya tembok Berlin, ada juga ketidakpuasan dan penyesalan yang datang dari Berlin bagian timur, karena ternyata, ‘coca-co** tidak seenak yang mereka bayangkan’,  ‘kapitalisme tidak seindah yang mereka harap’, banyak yang malah kehilangan pekerjaan setelah runtuhnya tembok, karena sebelumnya, semua warga dijamin mendapat pekerjaan di Jerman timur. Namun setelah tembok runtuh, komunisme di singkirkan, pekerjaan pun bukan jaminan.

Museum Komunisme, bagi saya cukup berimbang dalam menyajikan data-data. Penyajiannya dibagi dalam beberapa judul, yang pertama ialah mimpi, realita, dan mimpi buruk. Secara umum, tidak terlalu buruk, mengingat kemenangan kapitalisme, bahkan di wilayah kesadaran, museum yang relatif kecil ini menjadi penyegar ingatan akan suatu cita-cita dan harapan atas suatu peradaban yang lebih memanusiakan manusia, meski berakhir dengan darah dan kekalahan.

Malam kedua di Praha, tidak dengan bergelas-gelas bir, ataupun cocktail, tapi dengan makanan sehat vegetarian bersama Rina. Saya pun tidur nyenyak dengan senyuman.

Cerita Sekenanya #5

Posted in pernah jalan-jalan by Lisistrata on July 14, 2010

Akhirnya, Praha!!

Menuju kota yang menempati urutan pertama dalam daftar perjalanan Eropa saya, Praha, republik Ceko. Dan sesampainya di Praha, tidak salah memang, sejauh ini (saya berada di Polandia) Prague memang ‘breathtaking’. Setibanya saya dikota, keluar dari stasiun metro, I.P. Pavlova, sudah terkesima dengan bangunan di kanan-kiri.

Praha, memang seperti tampak seperti kota yang sudah lama saya impikan. Hanya saja, hostelnya kurang memuaskan. Tidak jauh memang letaknya dari pusat kota, namun resepsionisnya sibuk main game sendiri. Tidak merekomendasikan paket perjalanan menarik yang ada di Praha. Selain itu, saya diberi segenggam kunci, yang terdiri dari kunci kamar, kunci lorong menuju kamar, kunci dapur di lorong seberang kamar, dan tiga kunci loker. Jadi sekitar sepuluh menit pertama saya sibuk dengan kunci, membuka pintu kanan kiri. Dan akhirnya menyerah, kemudian mengganjal pintu dengan tempat sampah, supaya tidak sibuk buka tutup.

Hari pertama di Praha, di kamar hostel dengan banyak kunci tersebut, teman sekamar saya segerombolan anak muda dari Prancis yang cukup ramah, yang sempat berbagi cerita serta pengalaman perjalanan. Dan, ada lagi seorang berbahasa Prancis lainnya, namun lancar juga bahasa Inggrisnya. Wajahnya cukup rumit, tidak seperti pengunjung hostel lain yang saya temui, yang sibuk bersenang-senang kesana-kemari, melihat ini itu, berpesta disana sini.

Ia pun menyapa saya, obrolan pun mengalir begitu saja. Entah dari mana mulainya, tiba-tiba kami bercakap dengan bahasa belanda. Bahasa belanda saya memang acak-acakan, untuk seseorang yang kursus selama beberapa bulan. Barangkali karena saya punya kenangan tertentu pada kotanya, yakni Antwerpen, saya pun senang mendiskusikan kesan yang saya tangkap selama tiga hari disana. Meski semua kesan tersebut dibantahnya, dengan sudut pandangnya.

Karena dia terlihat acak-acakan, bingung dan tidak seperti anak muda lain yang saya temui, saya pun menanyai alasannya di Praha. Tanpa ragu ia pun bercerita bahwa baru beberapa jam lalu, ia putus dengan pacarnya. Saya pun menertawai, dia juga tidak keberatan, ikut tertawa, meski sedikit pahit.

Sekitar pukul tujuh malam, saya berencana meraba kota, mengenal Praha dengan cara yang sederhana. Lelaki yang saya temui di hostel itupun tak punya rencana lain, keluarlah kita sama-sama untuk segelas kopi dan sepiring pasta. meski dengan tujuan lain, saya melihat kota dan ia sepak bola. Meski pada awalnya sempat saya goda, karena obrolan pada awalnya cukup filosofis, kutip kafka dan nietzche dengan lincahnya, kemudian ia berencana nonton sepalbola dengan alasan kesehatan mental. Saya tertawai sampai pucat, dan hampir saja ia tinggalkan piala dunia, tapi pada akhirnya saya biarkan, “kembalilah ke piala dunia, dari pada nanti menyesal”.

Menyusuri jembatan Charles dan mencoba menuju kastil. Namun gagal, karena sudah gelap, jadi hanya sampai ujung seberang jembatan Charles. Ramai turis. Saya tahu, Praha cukup terkenal keindahannya, tapi tidak menyangka akan seramai ini.

Melanjutkan perjalanan ke kota tua, bertemu dengan dua gadis Spanyol belia yang suka pesta. Yang sewaktu kita bertemu langsung saling sapa dan ramah, kemudian mengajak saya pesta dan saya tolak dengan halus,”mungkin lain kali saja pestanya”. Di Praha, pesta?? Ampun dah, mending di jalan prawirotaman aja 😀

Cerita Sekenanya #4

Posted in pernah jalan-jalan by Lisistrata on July 14, 2010

“one day sightseeing in Berlin seems nothing” 😦

Dengan bekal informasi dari teman saya, bahwa untuk sekedar melihat kota di Berlin, berjalan kaki cukup melelahkan, mengingat besarnya kota. Maka menyewa sepeda atau melihat kota dengan bus bahkan metro menjadi pilihan. Pilihan saya pun jatuh pada alat transportasi umum, seperti metro atau dan bis kota.

Saya mulai perjalanan cukup awal, skitar pukul sepuluh pagi, setelah bercakap dengan seorang dari Finlandia yang juga sedang melakukan perjalanan antar kota di eropa, juga dengan interrail. Di dapur sekaligus ruang makan hostel kami bertukar cerita dan informasi, seputar pejalanan. Tidak ada hal-hal mendalam, hanya perjalanan dan hal-hal menyenangkan didalamnya. Yang jelas ada satu kesamaan, kami sama-sama ingin melihat dunia, mencapai hampir ke setiap pojoknya, kalau bisa. Dan seperti biasa, bertukar alamat email, untuk menjalin pertemanan antar negara.

Karena saya beranggapan akan berputar-putar dan melihat kota selama seharian, maka saya putuskan untuk membeli tiket transportasi umum yang berlaku selama dua puluh empat jam, seharga 6 euro. Namun di depan mesin pembelian karcis, ada seorang lelaki seusia kakak saya, yang menawari saya karcis dengan harga miring.

Ternyata, ia seorang yang cukup cerdik juga dalam mencari celah dari sebuah sistem. Di Berlin, jika tidak ada petugas yang memeriksa, dan karcis tidak diaktifkan, maka karcis masih bisa dipakai. Disitulah celah yang ia mainkan untuk mencari uang. Dia bersedia mengorbankan waktu untuk nongkrong, dan menanyai setiap penumpang kereta dan meminta jika karcisnya sudah tidak dipakai dan belum diperiksa petugas ataupun diaktifkan. Setelah terkumpul, tempat tongkrongannya berpindah ke dekat mesin pembelian karcis, mencegah siapa saja yang mau membeli karcis dan menawarkan karcisnya dengan harga miring.

Bagi saya itu cukup cerdik, saya pun mendukungnya dengan membeli karcis yang ia tawarkan. Kami sama-sama untung. Dia mendapat uang, atau laba. Saya pun mendapat tiket dengan harga dibawah normal.

Sesampainya di pusat kota yang menarik perhatian turis, saya melanjutkan perjalanan dengan naik bis kota nomor 100, seperti yang sudah di beritahu teman saya. Karena dengan bis tersebut, saya bisa melihat hampir seluruh situs bersejarah di kota Berlin. Jadi intinya, menikmati fasilitas turis dengan harga lokal. Dan memang benar rupanya, rute bis nomor 100 ini memang hampir sama dengan bis khusus turis, yang harganya dua kali lipat dari harga tiket transport umum yang berlaku selama dua puluh empat jam. Sekali lagi disini, informasi merupakan kekuatan.

Cerita Sekenanya #3

Posted in pernah jalan-jalan by Lisistrata on July 14, 2010

Ironi di jalan Karl Marx, Berlin

Meski masih satu negara, Cologne menuju Berlin ditempuh selama kurang lebih lima jam. Dengan kereta jurusan Frankfurt, saya menuju Berlin. Sistem transportasi di Jerman masih bisa dipercaya, sejauh pengalaman saya, tidak ada keterlambatan. Jadi masih bisa diandalkan.

Berlin kali ini kurang lebih sebagai pintu gerbang perjalanan singkat saya ini menuju Belantara Eropa bagian timur. Selain ibukota negara, Berlin juga menyimpan kompleksitas sejarah perebutan kuasa di Eropa. Di kota inilah ingin saya saksikan benturan dan perbedaan tersebut. dan saya putuskan untuk sekedar menginap selama dua malam.

Di jalan Karl Marx, saya berharap ada semacam simbol-simbol pengingat sebuah cita-cita akan peradaban manusia yang lebih adil. Namun yang saya temui adalah ironi. Di jalan Karl Marx kanan kirinya penuh, pusat perbelanjaan.

Dan saya baru sadar, betapa dodolnya saya yang tidak mempertimbangkan besarnya kota dalam pengalokasian waktu perjalanan. Berlin ternyata kota terbesar dari daftar kota-kota di Eropa yang saya kunjungi. Dan betapa bodohnya, hanya saya kunjungi selama dua malam. Dalam kunjungan selama dua malam tersebut, biasanya waktu efektif perjalanan pun hanya satu hari penuh, yakni pada hari kedua. Karena hari pertama biasanya sudah capek setelah perjalanan selama minimal lima jam dari kota sebelumnya. Dan setelahnya hanya bisa berjalan rileks untuk sekedar mempelajari peta beserta sistem transportasinya, sekaligus bagaimana cara mengakalinya.

Dan hari pertama di Berlin, saya hanya menyusuri jalan Karl Marx yang merupakan pusat perbelanjaan, semua merk dunia ada disini, diskon musim panas pun sebenarnya juga menggoda, tapi saya hanya membeli beberapa buah, makanan ringan dan makan malam.

Di hostel yang sangat mengerti kebutuhan backpacker tersebut, saya mendapat enam digit nomor, yang wajib digunakan jika masuk ke dalam hostel diatas jam dua belas malam.

Mengingat hari pertama di Cologne saya dmanjakan dengan alkohol, di Berlin kali ini saya mau yang berbeda, tidak mau bangun dan hangover di pagi hari. Hanya satu hari efektif untuk jalan-jalan dan jika malamnya saya keluyuran, kacaulah perjalanan di Berlin.